Minggu, 01 November 2009

BEKERJA MENURUT HINDU

TINJAUAN BERDASARKAN CATUR WARNA *

Om Swastyastu,

LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia di dunia ini selalu diliputi oleh kegiatan untuk mempertahankan hidupnya. Sejak jaman purba manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan berbagai cara seperti : berburu untuk mendapatkan makanan berupa daging atau memakan tumbuh-tumbuhan dan hidup manusia pada jaman itu umumnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk mencari makanan tujuannya adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.

Kegiatan berburu untuk mempertahankan hidup itu bahkan melintasi benua seperti yang kita ketahui bagaimana bangsa Arya yang dari Eropah sampai ke Persia hingga anak benua Asia yaitu tanah India. Dalam perjalanan lintas benua itu mereka membawa kebudayaan baru dan berakulturasi dengan kebudayaan setempat. Bangsa Arya inilah yang membawa kebudayaan Hindu pada 5000 tahun SM. Hindu sebagai suatu kebudayaan kemudian berkembang menjadi suatu Agama yang berkembang pesat di seluruh anak benua Asia. Agama Hindu berkembang pesat dan menyatu di India karena mampu beradaptasi dengan kebudayaan setempat. Weda sebagai kitab suci Agama Hindu merupakan kumpulan dari wahyu-wahyu yang diterima oleh para Rsi atau Begawan dan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dapat diterima oleh masyarakat India. Mengapa Hindu dapat berkembang pesat di India pada saat itu karena kerja keras para Rsi atau Begawan dalam menyebarkan agama selalu berdasarkan WEDA dan DHARMA.

Bagaimana kita saat ini menyikapi hal tersebut diatas? Mari kita lanjutkan tugas para Rsi atau Begawan dengan bekerja keras berdasarkan DHARMA dan sebarluaskan WEDA agar manusia lebih berbudaya dan memahami aspek kehidupan berdasarkan keseimbangan alam semesta ini. Manusia bekerja tanpa dilandasi oleh nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya menjadi kering dan tidak bermakna. Oleh karena itu kegiatan bekerja pada jaman purba dan sekarang tujuannya adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup tanpa harus kehilangan pijakan DHARMA sebagai landasannya.

Bila kita ingat, sebagai umat Hindu cerita tentang LUBDHAKA, seseorang yang pekerjaannya sehari-hari adalah berburu binatang di tengah hutan yang tujuannya adalah untuk mempertahankan hidupnya tanpa harus melupakan keyakinan yang dimilikinya mendapatkan pencitraan tentang kesuciannya ketika dia tersesat pada malam Siwa Latri. Makna dari cerita tersebut mengajarkan kepada umat Hindu bahwa dalam bekerja kita harus melakukannya dengan bersungguh-sungguh dan sepenuh hati akan mendapatkan hasil yang baik tanpa harus atau pernah mengharapkan hasil itu.

BEKERJA BERDASARKAN CATUR WARNA
Dalam Agama Hindu bekerja merupakan suatu kewajiban karena dalam Bhagawad Gita diuaraikan bahwa manusia yang idealis dalam dunia ini adalah ia yang berbudi pekerti harmonis, aktif dalam kerja bagi kemanusiaan, berusaha bekerja keras bagi pengembangan jiwanya. Juga memiliki ilmu pengetahuan tentang ke-Tuhan-an (brahmawidya) dan bakti kepada-Nya. Bhagawad Gita senantiasa menganjurkan agar manusia aktif bekerja karena bekerja adalah bagian dari kehidupan untuk melaksanakan tugas hidup (swadharma) sehari-hari dengan sebaik-baiknya (Raditya 123, Oktober 2007).

Manusia dalam bekerja menurut Agama Hindu berdasarkan warna atau fungsi kita mengenal istilah warna disini sering diterjemahkan dengan pengertian kasta yang berarti pengelompokkan manusia atas dasar tingkatan kelahirannya walaupun sestem kasta ini sama sekali tidak selaras dengan idealisme dari Bhagawad Gita (BG, Paramita 1997,103). Dalam kehidupan sehari-hari warna yang dimaksud adalah tingkatan-tingkatan manusia dalam melaksanakan pekerjaan sehingga manusia bekerja sesuai dengan funsinya jadi tingkatan-tingkatan dalam melaksanakan pekerjaan itu berdasarkan kemampuan.

Sesuai dengan fungsinya atau tingkatan pekerjaan dalam Hindu kita kenal istilah CATUR WARNA yang terdiri dari :
  1. Tingkatan sebagai Brahmana
  2. Tingkatan sebagai Kesatrya
  3. Tingkatan sebagai Waisya
  4. Tingkatan sebagai Sudra
1. Tingkatan sebagai Brahmana : Fungsi ini lebih banyak menyangkut tentang keagamaan jadi pada jaman dahulu tugas kaum Brahmana memberikan saran di bidang keagamaan kepada para raja-raja, kaum Brahmana kita sebut sebagai orang yang bijak karena mereka juga memimpin upacara-upacara keagamaan di lingkungan kerajaan atau memberi nasihat kepada raja dalam menjalankan pemerintahan. Dikemudian hari kita sebut mereka sebagai Pinandita.
2. Tingkatan sebagai Kesatrya : Fungsi ini menyangkut masalah-masalah kenegaraan, mereka sebagai pemimpin bisa sebagai raja, maha patih, patih dan prajurit. Tugas mereka lebih banyak di bidang pemerintahan dan kenegaraan. Dalam Bhagawad Gita, Kesatrya yang dimaksud adalah ARJUNA.
3. Tingkaytan sebagai Waisya : Fungsi ini menyangkut mereka yang bergerak di bidang ekonomi dan sosial karena kerja merekalah tercipta lapangan pekerjaan sehingga kebutuhan masyarakat tepenuhi. Mereka ini disebut kaum pengusaha yang akan memberikan kemakmuran bagi bagi Bangsa dan Negara.
4. Tingkatan sebagai Sudra : Fungsi ini menjalankan kegiatan sebagai pekerja dalam hal ini mereka yang bekerja di dalam lingkungan perusahaan, menjadi pekerja di pabrik atau yang mengabdi kepada seseorang.

Paparan tersebut diatas sebenarnya hanya merupakan pembagian pekerjaan berdasarkan tingkatan-tingkatan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dan pembagian kerja tersebut tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan fungsi yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Pada kenaytaan kenapa kemudian Catur Warna itu berkembang menjadi kasta sehingga menimbulkan pertentangan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Pertentangan itu timbul karena pengaruh bangsa Portugis pada sekitar awal abad ke 15 datang ke India dan menggunakan Catur Warna sebagai alat untuk menguasai India. Catur Warna dieksploitasi menjadi kelompok-kelompok masyarakat atau klas seperti di Eropah pada saat itu sedangkan Catur Warna yang dimaksud dalam Bhagawad Gita adalah berdasarkan sifat dan kegiatan kerja sehingga manusia dalam melakukan kegiatan kerja akan mendapatkan keseimbangan.

Manusia diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa tidak ada perbedaan yang membedakan hanya kemampuan dalam berpikir, berkata dan berbuat. Jadi sekali lagi ditekankan bahwa Catur Warna menurut Bhagawad Gita adalah untuk keseimbangan manusia dalam melaksanakan kegiatan kerja.

Catur warnyam maya srstam guna-karma-wibhagasah,
Tasya kartam api mam widdhy akartaram awyayam.

"Empat macam tatanan masyarakat (catur warna), Aku yang menciptakannya, sesuai dengan pembagian sifat dan kegiatan kerja. Tetapi ketahuilah bahwa, walaupun Aku yang menciptakannya, Aku bukanlah pelaku dan tanpa perubahan" (BG,IV-13).

Dalam kutipan tesebut jelas bahwa kita, manusia sebagai subyek atau pelaku Catur warna tersebut dan tanpa perubahan untuk kepentingan kegiatan kerja. Namun demikian pada kenyataan yang berlaku, catur warna mengalami pergeseran nilai dengan mengedaepankan sikap artinya kita telah mengaoresiasi pengertian Catur Warna ciptaan TUHAN tidak sesuai dengan Sabda-Nya tapi masih dipengaruhi oleh nilai-nilai kasta atau pengelompokkan yang diartikan berbeda oleh pihak lain. Tuhan menciptakan Catur Warna adalah untuk pembagian sifat dan kegiatan kerja bukan untuk yang lainnya.

Menurut Mahabharata, pada awalnya seluruh dunia ini hanya terdiri dari satu golongan saja, namunkemudian dibagi empat golongan, disesuaikan dengan kewajiban-kewajiban mereka yang spesifik, sesuai dengan guna (sifat-sifat yang mendominasi) dan karma (kegiatan kerja yang cenderung dilakukan). dalam beberapa acuan lainnya dengan jelas dinyatakan bahwa pembagian ini bukan berdasarkan kelahiran, status ataupun kekayaan yang dimilikinya BG, Paramita 1997,195).

BEKERJA DENGAN KECERDASAN
Dalam Bhagawad Gita, disebutkan Swadharma sebagai hukum kerja sehingga bekerja keras adalah untuk mengabdi kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa dan dalam bekerja kita tidak perlu terikat terhadap hasil kerja.

Seperti halnya seorang yang dapat memperoleh air dari sungai secara mudah baginya tak merasa perlu lagi untuk menggali sumur untuk mendapatkan air, demikian pula orang-orang bijaksana sudah tidak terikat lagi untuk melakukan upacara-upacara ritual. Bagi mereka yang tercerahi pelaksanaan ritual hanya memiliki nilai yang kecil saja (BG, Paramita 1997, 144)

Karmany ewadhikaras te ma phalesu kadacana,
Ma karma-phala hetur bhur ma te sango stw akarmani.

"Tugasmu kini hanyalah berbuat dan jangan sekali-kali mengharap akan hasilnya, jangan sekali-kali hasil menjadi motifmu ataupun sama sekali terikat dengan tanpa kegiatan" (BG, II-47)

Sloka tersebut mengandung prinsip dasar dari ketidak-terikatan dalam melakukan kegiatan kerja. Kita harus bekerja dengan ketenangan yang sempurna dengan mengabaikan hasilnya. Oleh karena itu dalam bekerja harus dengan kecerdasan dan disiplin sehingga dalam kita dalam bekerja dengan sikap penuh keseimbangan.

Durena hy awarm karma budhi-yogad dhananjaya,
Buddhau saranam anwiccha krpanah phala-hetawah.

"Sungguh sangat rendah derajat mereka yang hanya bekerja tanpa pendisiplinan kecerdasan (buddhiyoga), wahai Dhananjaya (Arjuna), berlindunglah pada kecerdasan. Kasihan mereka yang mengharapkan hasil dari kegiatan kerja" (BG, II-49).

Mari kita semua harus cerdas dan berdisplin sehingga kita semua terbebas dari keterikatan dan tidak harus terikat dengan Catur Warna karena kalau kita mengacu kepada warna/ kasta maka kacaulah kita, yang terjadi kemudian adalah ketidak harmonisan karena dalam HINDU yang dituntut adalah keharmonisan seperti disebutkan dalam TRI HITA KARANA, dengan keharmonisan hubungan diantara semua mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa maka akan tercipta keseimbangan batin. Oleh karenanya dalam bekerja harus berdasarkan DHARMA karena bila kita bekerja untuk mengabdi kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa maka jalan DHARMA-lah yang kita dpatkan.

Persoalannya kita semua tidak perlu menilai diri kita pada keterikatan warna/fungsi dalam bekerja atau Catur Warna tersebut karena dalam melaksanakan pekerjaan pada kenyataan saat ini mungkin dalam bekerja tidak sesuai dengan apa yang diinginkan tetapi kita bekerja sesuai dengan kenyataan yang kita dapatkan dan itulah salah satu pengorbanan kita terhadap Sang Pencipta.

TUHAN SELALU BEKERJA
TUHAN sendiri selalu bekerja dan tidak pernah berhenti dengan kegiatan-Nya memelihara alam semesta ini, Tuhan dengan kegiatan-Nya yang abadi, memelihara dunia ini dan mencegahnya untuk tidak jatuh kembali pada ketidak-beradaan.

Utsideyur ime loka na kuryam karma ced aham,
Sankarsya ca karta syam upahanyam imah prajah.

"Bila Aku berhenti bekerja, dunia ini akan mengalami kehancurandan Aku akan menjadi pencipta kehidupan yang kacau balau dan menghancurkan penghuni dunia" (BG, III-24).

Mari kita semua bekerja dengan bekerja kita akan menjaga keseimbangan, meningkatkan kualitas kehidupan demi kelangsungan hidup ini dengan bekerja kita dapat memenuhi kewajiban atau pengorbanan kita kepada Tuhan, apabila tidak bekerja artinya kita sudah mengabaikan hak dasar yang diberikan oleh Sang Pencipta dan tentunya akan menghancurkan kehidupan kita sendiri karena kehidupan ini terus berjalan. Tuhan sendiri bekerja bagaiman dengan kita?

Tuhan menciptakan manusia untuk mengembangkan diri dan berkembang biak dengan keturunanya sehingga memenuhi ruang-ruang ciptaan-Nya dan setiap orang memiliki hak yang sama dalam meraih tingkat kehidupan yang lebih tinggi dan biasanya hal ini hanya dapat dicapai secara perlahan-lahan, selangkah demi selangkah dan bukan sekali lompatan saja.

Demikian juga kita dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari karena dalam bekerja ada unsur pengorbanan maka kita harus melayani Tuhan dengan cara mengabdikan diri dalam kegiatan kerja tanpa harus terikat oelh hasil dan jalan apapun yang kita laksanakan dalam kegiatan kerja dan bertujuan Dharma akan diterima oleh-Nya.

Ye yatha mam prapadyante tams tathaiwa bhajamy aham,
Mama wartmanuwartante manusyah partha sarwasah.

"Jalan apaun orang memuja-Ku, pada jalan yang sama Aku akan memenuhi keinginannya,
wahai Partha, karena pada semua jalan yang ditempuh mereka, semuanya adalah jalan-Ku (BG IV-11).

Karena kita bekerja tanpa harus terikat dengan Catur Warna dan bekerja itu merupakan suatu kewajiban serta merupakan hak dasar yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada setiap orang maka kewajiban kita untuk mempersembahkan pengorbanan itu kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam menanggapi penyembahnya dengan bebas dan memberkahinya sesuai dengan keinginan hatinya masing-masing. Dia tak akan memupus harapan siapapun tetapi membantu semua harapan agar dapat tumbuh sesuai dengan kodratnya masing-masing (BG, Paramita 1997, 193).

Brahmany adhaya karmani sangam tyaktwa karoti yah,
Lipyate na sa papena padma-patram iwambhasa.

"ia yang bekerja setelah melepaskan keterikatan serta mempersembahkan kegiatan kerjanya kepada Tuhan, tak akan tersentuh oleh Dosa, bagaikan daun teratai yang tak terbasahi oleh air" (BG V-10).

Kemudian apabila kita dalam setiap bekerja dan mempersembahkan hasil kerja kepada Tuhan dan selalu memuja nama-Nya mereka akan mendapatkan harapan-harapan yang diinginkannya seperti disebutkan kutipan di bawah ini :

Ananyas cintayanto mam ye janah paryupasate,
Tesam nityabhiyuktanam yoga-ksemam wahamy aham.

"Tetapi mereka yang memuja-Ku dan hanya bermeditasi kepada-Ku saja, kepada mereka yang senantiasa gigih demikian itu, akan Aku bawakan segala apa yang belum dimilikinya dan akan menjaga apa yang sudah dimilikinya" (BG IX-22).

Selanjutnya kutipan berikutnya sebagai dasar kita dalam melaksanakan kegiatan kerja dengan tanpa mengabaikan persembahan yang tulus kepada Tuhan :

Patram puspam phalam toyam yo me bhktya prayacchati,
Tad aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah.

"Siapapun yang mempersembahkan kepada-Ku dengan penuh pengabdian, selembar daun, setangkai bunga, sebutir buah ataupun setes air, Aku terima persembahan yang dilandasi kasih dan hati yang murni itu" (BG IX-26).

Kata akhir dari paparan tersebut diatas mari kita merenungkan diri sejenak apa yang telah kita perbuat dalam menjalankan kewajiban sehari-hari, sudahkah kita bekerja dengan pengorbanan untuk melayani SANG PENCIPTA? Tidak usah bersedih diri apabila kita mengalami ketidak-beruntungan atau merasa nasib kita tidak baik dalam bekerja. Kita pasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena beliau Sang Pencipta maka kita tidak perlu berpikir tentang posisi kita dalam Catur Warna atau merasa terikat oleh Catur Warna yang terpenting kita selalu berusaha untuk bekerja dengan selalu berlindung kepada-Nya.

Mam hi partha wyapasritya ye 'pi syuh papa yonayah,
Striyo waisyas tatha sudras te 'pi yanti param gatim.

"Sebab mereka yang berlindung pada-Ku, wahai Partha (Arjuna), walaupun mungkin berkelahiran rendah, para wanita, Waisya dan juga Sudra, mereka juga mencapai tujuan tertinggi" (BG IX-32).

Artinya pesan-pesan Gita terbuka bagi semua orang tanpa membedakan ras, kasta ataupun jenis kelamin dalam nilai spiritualnya, bahkan juga terhadap orang-orang di luar kasta (BG, Paramita 1997, 321).

Om Santhi, Santhi, Santhi Om


Depok, 22 april 2008
I Gede Budayasa A.N
* Tulisan ini pernah disampaikan pada saat arisan Tempek Limo
di Pura Amertha Jati Cinere - Depok
















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar